Pagi itu cuaca sangat cerah, aku yang waktu itu sedang duduk bersama teman laki-laki ku yang memegang gitar kesayangannya meminta dia untuk mengajariku bermain gitar dengan baik, karna saat itu kami sedang tidak ada guru.
Disaat aku sedang asyik bermain dan mulai hafal dengan kunci–kunci yang dia ajarkan kepadaku, diseberang dari tempat aku duduk tampak wajah teman–teman perempuanku kelihatan memusuhi ku, membenci, bahkan juga terlihat dari salah satu mereka tidak menyukai caraku. Aku menyadari kesalahanku, aku yang dulu selalu menjaga jarak dengan laki-laki dan membenci teman–teman yang berparan sekarang justru mendekati mereka.
Bukan itu saja aku bahkan membiarkan mereka menyentuh tanganku asalkan aku dapat bermain gitar dengan lancar, aku tidak peduli dengan apa yang mereka katakan, dengan tatapan sinis mereka, aku hanya menganggap mereka cemburu dengan aku yang bisa selalu dekat dengan anak laki-laki yang kebetulan sangat terkenal dengan petikan – petikan senar gitarnya.
Setelah aku merasa lelah dan hari ini cukup untuk mengetahi tiga kunci, aku pun pergi mencari minuman di kantin tempat aku biasa nongkrong bersama teman- teman sampai akhirnya waktu pulangpun tiba.
“ Uuugghff . . . . siang yang terik” desahku perlahan, semua siswa di MAN juga mersakan hal yang sama denganku. Saat apel siang waktu itu, salah satu guru agama memberi arahan sebelum kami pulang kerumah masing – masing atau bahkan kekampung mereka karna waktu itu adalah hari sabtu.
“ Lama banget sih, udah lapar nih . . . ”
Terdengar suara samar dari sampingku yang menginginkan pulang cepat, aku hanya memberi senyuman padanya, karan akupun sebenarnya juga sudah lapar.
Akhirnya barisan dibubarkarkan, aku mengambil kontak motorku dan merluncur kearah rumahku, sesampainya dirumah aku mengetuk pintu dan mengucap salam.
“ Assalamualikum . . . . “
“ Waalaikum salam,”
Terdengar suara yang sangat ku kenal, suara yang semakin hari semakin lirih dan suara yang kian hari menimpakan harapan akannya cita – citanya kepadaku. Itu suara ibu yang selalu menyambutku tiap kali aku pulang dari sekolahku. Setelah aku menukar pakaain seragamku, aku pun menghidupkan TV dan ingin menukar sinyalnya. Namun terdengar suara dari belakang.
“ Kamu sudah Shalat nak ? “
Pertanyan itu tak mampu ku jawab, aku benar – benar tak bisa merangkai kata – kata kebohongan, entah apa yang buat aku kehilangan akidah dan akhlak yang telah terpatri didalam diriku oleh ayah yang selalu memberikan pendidikan spiritual padaku juga tujuh orang saudaraku yang lain yang telah berkeluarga dan ikut dengan suaminya.
Aku diam membisu tanpa kata, namun kaki tak juga melangkah, ku tatap hantu dunia itu tampa kedipan mata, ibu datang dengan wajah mengiba dan berharap aku mendengarkan kata – katanya untuk pergi menghadap kekasih sejati itu.
“ Pergilah nak, ibu harap kamu mampu menjadi anak yang tetap mengirimkan hadiah do’a untuk ayahmu, cukup saudara –saudaramu yang tak peduli dengan kepergian ayah jangan kau siksa ibu juga ayahmu disana kelak dengan kekafiran akan duniamu, ibu tahu kamu begitu kehilangan figur seorang ayah, tapi kamu harus percaya ayahmu akan selalu hadir didalam mimpi-mimpi indahmu.”
Aku tetap diam, bagaikan patung yesus yang disalib. Namun hatiku mendongkol penuh dengan kebencian, kenapa ayah harus pergi begitu cepat padahal aku belum buktikan kalau aku akan berjihad untuk keluarga ini, aku mencintai ayah.
Tanganku tak pernah lepas dari remot kontrol yang aku pegang, tak ku sadar benda itupun jatuh karna kekuatan kebencianku, ibu langsung bangkit dan memarahiku.
“ Kamu, dikasih tahu dengan kata mengiba malah menginjak ibumu, sekarang terserah buatmu, ibu hanya ingin kamu tetap menjadi anak yang ibu kenal dulu, anak yang selalu mengajari hal – hal baik yang ibu tidak tahu, anak yang tidak pernah mendongkol saat ibu atau ayahmu memberi nasehat – nasehat untukmu. Anak yang shalat sebagai makanan dalam puasa dan uang dalam sadakahnya. Tapi sekarang kamu bagaikan dajjal yang tak peduli dengan derita yang ibu tanggung dalam memeliharmu sendiri tanpa pemimpin.”
Ibu terdiam, namun mengelurakan bening – bening cinta dari matanya, aku belari kekamar dan mengunci kamarku. Saat itu pula aku menangis, aku teringat dengan kata – kata ayah waktu aku masih MIN, jangan pernah kamu taruh pakaian dalam di kepala orang tuamu, karana engkau wanita yang suci anakku. Dan jangan pernah kamu buat ibumu menangis karna tingkahmu yang menyesatkan, karna satu tetas air mata ibumu merupakan ribuan gelas api air nanah yang akan kamu minum di neraka kelak.
Sekarang, ibu bukan saja menangis tapi bahkan mampu mengatakan aku Dajjal, betapa durhakanya aku, tapi mengapa kau tak pernah berfikir baik selama ini tentang kepergian ayah, kenapa aku selalu memari Allah atas Dia yang tidak menunda kepergian ayah, padahal semua itu sangat diimpikan buat ayah karna jihadnya akan sakit yang dia rasakan sudah sampai pada syahid yang dia impikan.
Tak berfikir panjang lagi, aku langsung berlari menghampiri ibu, aku mencium kakinya dan juga memohon maaf padanya, saat itu ku rasakan dekapan hangat ibu, kusadar darah yang mengalir dalam diriku adalah tetesan – tetesan air cinta ibu juga ayah yang menjaga amanah, dan juga merasakan impian malaikat -malaikat yang juga ingin menjadi manusia yang bisa merasakan dimanja oleh ibu juga ayah serta merasakan pengabdian anak kepada orang tuanya.
“ Sudah lah nak, engkau mutiara surga ibu juga ayahnu, sekarang ibu sudah memafkanmu, shalatlah, kirim do’a dan al-fatihah buat ayahmu, beliau menunggu kiriman surat cinta darimu, percayalah jika kamu anakku, mendengarkan apa yang ibu katakan pasti kamu akan bahagia.”
Ibu menyuruhku shalat sambil mengusap air mata dan kepalaku. Terdampar pula, kecupan sayang dari ibu, yang selama ini hanya kuanggap itu sebagai angin yang melintas dikeningku.
Setelah aku Shalat dan memohon ampun pada Allah juga do’a yang ku kirim buat ayah, aku mendatangi ibu yang sedang mempasah ubi yang akan dibuat untuk kerupuk, ubi yang sebagai penyambung hidup kami, yang dari aku kecil hingga sekarang selalu menemani hari – hari ibu karna dari kerupuk ubi itu kami bertahan hidup dan telah mampu mensarjanakan empat orang kakak – kakakku, dan aku juga ingin membuktikan hal yang sama kepada ibu.
“ Ibu, aku janji akan kembali menjadi mutiara Syurgamu seperti dulu, aku yang selelu menjaga hijabku, aku yang selalu ingat akan kekasih sejati kita. Ibu, aku akan buktikan kalau aku juga kan jadi orang yang dipandang seperti ayah juga ibu dipandang oleh orang – orang. Aku akan abdikan diriku untuk ibu, sungguh aku mencintai kalian.”
“ Ibu percaya itu, jangan abaikan kepercayan ibu mu ini anakku, ibu memarahimu bukan karna ibu benci tapi ibu sayang dengan kamu, ibu tak mau kamu berlama– lama dalam kehancuran.”
Setelah itu akupun membantu ibu untuk mempasah ubi yang sudah dibuka sama ibu, hari ini baru ku rasakan kebahagiaan yang sebenarnya, kebahagian yang tak semua orang dapat meraihnya.
Kini hari – hari ku jalani kembali seperti aku yang dulu, waktu maghribpun tiba, aku mengambil mukenaku dan akupun bergegas menuju mesjid, sesampainya dimesjid aku pun langsung mengangkat takbir, disaat Shalat tak ku sadari air mataku kembali membasahi wajahku, aku benar – benar sangat bahagia telah mampu melewati masa – masa aku larut dalam kebencian.
Malam semakin larut, mataku tak bisa terpejam, aku duduk dan mengambil sehelai kertas, ku tulis bait – bait puisi buat ibu dan juga tentang kehidupanku, aku tak boleh lagi jatuh pada kesalahan yang sama, aku harus mampu melawan musuh jiwa., yaitu nafsu kebencianku yang tak terkendali dulu.
Malam begitu hening, tak ada sedikitpun terdengar suara dari luar, ku ambil gitar yang ada disisi kiri meja belajarku, ku petik senarnya, dan ku nyanyikan puisi yang telah kubuat itu, dengan suara yang sudah tidak begitu jelas aku mulai membacanya.
“ Ku lepas pandangan mata
Kutatap bentang laut
Ku termenung dan berfikir sejenak
Masihka ada yang lebih luas dari lautan ???
Langit, yah . . . langit lebih luas
Ibu . . . saat itu ku lihat wajahmu di langit biru
Engkau tersenyum manis padaku, ku tatap wajahmu
Tiba – tiba aku merasa ada sesuatu yang mengalir dalam jiwaku
Ya . . . inilah yang lebih luas
Cinta, kasih, sayang, dan keikhlasan serta tanggung jawabmu ibu
Setiap tetes darah mengalir air susumu
Yang membangkitkan rasa rinduku padamu
Setiap desah nafasmu ada belaian kasih sayangmu
Hangatnya dekapanmu masih membekas dalam jiwaku
Hingga Tak ku sadari air mataku menetes
Ibu . . . restui permainan melody iniuntuk ayah disana dan demi cita – citaku.”
Tak ku fikirkan petikan gitarku bagus atau tidak yang terpenting bagiku petikan gitar itu ku persembahkan buat ayah dan puisi itu buat ibu. Tak kusangka ternyata ibu terbangun karna mendengar suara gitar yang ku mainkan.
” Subahanallah, begitu indah melodi dan puisi yang kamu buat anakku, ibu menyukainya, dan tentu saja ibu merestuimu, tapi jangan pernah kamu lupa kalau Allah lah pemilik keindahan itu.”
” Okey bu, Insya Allah aku tak akan lupa dengan pemilik keindahan dari segala keindahan. Ibu, bimbing aku dalam Ridha Allah, tangisilah aku saat aku berada dalam kesesatan, tersenyumlah ibu disaat aku dalam rel kebenaran dan jangan biarkan aku disentuh oleh siapaun kecuali oleh dirimu ibu.”
”Allahu akbar pintamu akan selalu ibu tunaikan karna kamu amanah terbesar dalam hidup ibu nak, kamu ikut puasa senin-kamis tak sama ibu ?”
” Iya bu, aku ingin kirim puasa ini buat ayah juga buat kesehatan ibu. ”
” Ya sudah, kamu cuci muka dan gosok gigi dulu kekamar mandi ya, ibu mau siapkan sahur kita.”
” Iya bu. ”
Aku pun pergi mencuci muka dan gosok gigi untuk sahur bersama ibu, aku sekarang merasa rumah ini ramai dengan malaikat – malaikat yang hadir dalam kebahagian kami, rumah yang dulu terasa sepi karna hanya aku dan ibu yang tinggal dirumah ini namun kini malah sebaliknya.
Saat sahur itu, aku menatap wajah ibu, wajah yang sudah berkerut karna Zaman yang membuatnya begitu, umur yang semakin renta, dan aku sadar suatu saat aku akan kehilangan beliau juga, namun aku akan tetap hadapi semuanya dengan tegar dan aku ingin disaat kepergian beliau kelak, beliau dalam kebahagian ini.
Ayah, inilah persembahan cintaku untukmu, melody cinta di Syurgamu, Di singgasana tempat kamu bertahta saat ini, aku dan ibu akan datang keistanamu, menjadi bidadari mutiara Syugamu.Aku tidak akan pernah mengecewakan ibu lagi dan aku janji itu.
Sekarang penyakit diabetes ibu kamubuh lagi, aku serahkan semuanya sama Allah, namun selain itu aku juga membawa ibu kerumah sakit dari dugaanku, ternyata ibu tak tertolongkan lagi, dari mulut ibu keluar buih karna kuatnya kadar gula ibu, aku menangis.
Aku akan sendiri tanpa ibu, aku akan berjuang untuk hidup tanpa senyum dan perhatian dari ibu, tapi aku tak akan larut dalam kesedihan itu, aku harus kuliah dan mendapatkan pekerjaan yang layak demi cita – cita ibu yang ingin aku menjadi seorang dokter agar dapat mengobati anak – anak yatim juga orang – orang yang tak mampu langsung dari tanganku atas bantun Allah, karana selama ini ibu sangat sedih dengan perlakuan orang – orang atas yang tidak peduli dengan kami yang tidak punya uang untuk berobat, dan juga mampu berbain gitar dengan baik supaya bisa menghibur mereka yang bersedih karna sudah kehilangan ayah rindukan, dan dilecehkan oleh masyarakat.
”Detik ini aku memang gagal untuk menjadi dokter bu, tapi aku akan sudahi kuliahku untuk menjadi guru yang menciptakan calon-calon dokter . Ibu,ayah aku mencintai kalian seperti api dan air mencintai tuhannya .”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar